Diduga Ada Penyimpangan Prosedur Pelayanan Kepolisian, Kapolda Metro Jaya Dipanggil Ombudsman

Diduga Ada Penyimpangan Prosedur Pelayanan Kepolisian, Kapolda Metro Jaya Dipanggil Ombudsman
Gedung Ombudsman Republik Indonesia (MARS/detiknusantara)

JAKARTA- Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya memanggil Kapolda Metro Jaya untuk memberikan penjelasan secara langsung atau dapat menunjuk pejabat yang kompeten beserta penyidik dan atasannya pada Senin (07/11/ 2022) sekitar pukul 14. 00 WIB sampai selesai, di ruang rapat Lantai 3 Gedung Ombudsman Republik Indonesia Jl. HR. Rasuna Said Kav. 19 Setiabudi Jakarta Selatan.

Adapun pemanggilan tersebut terkait dugaan penyimpangan prosedur atas penanganan Laporan Polisi Nomor : LP/6755/XI/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ tanggal 13 November 2020 tentang dugaan tindak pidana serikat pekerja Pasal 28 jo Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh oleh Penyidik Polda Metro Jaya.

Diketahui bahwa Terlapor utama diduga belum pernah dilakukan pemanggilan untuk memberikan klarifikasi atau keterangan sebagai saksi sejak Desember 2020 sampai September 2021, dengan alasan kesehatan.

Penyidik tersebut harus bisa membuktikan bahwa Terlapor utama memang sedang terganggu kesehatannya sejak Desember 2020 sampai September 2021.

Karena Pelapor bisa membuktikan pahwa Terlapor utama tersebut bisa melakukan beberapa kegiatan yang di ekspos ke Media Sosial, bahkan sempat ke luar negeri, yaitu Amerika sebelum akhirnya meninggal dunia pada tanggal 03 Oktober 2021.

Padahal Penyidik seharusnya mempunyai hak untuk memanggil siapa saja secara sah dan patut sebanyak 2 kali, jika tidak di indahkan maka bisa di jemput paksa di kediaman nya Sebagaimana KUHAP Pasal 112 ayat (2) dan sebagaimana Pasal 224 Ayat (1) KUHP,

Tetapi anehnya, penyidik tersebut malah memanggil atau memintai keterangan atau klarifikasi dari saksi tambahan dan dari pelapor lagi, di duga merupakan upaya Penyidik untuk mengulur-ulur waktu sehingga perkara tersebut berjalan lebih dari 120 hari kerja

Padahal menurut perkapolri no. 12 tahun 2009 tentang pengawasan dan pengendalian perkara pidana di lingkungan kepolisian republik Indonesia, pasal 31 ayat (2) huruf a: memberikan batas waktu selama 120 hari itu untuk menyelesaikan perkara yang sangat sulit (tidak di ketahui saksi-saksi dan keberadaan terlapor), walaupun perkapolri tersebut sudah di hapus, bukan berarti penyelesaian perkara bisa melebihi standar, atau semaunya

Selanjutnya beberapa kali Pelapor atau keluarganya tidak menerima SP2HP, yaitu pada bulan Februari, April, Mei, Juni, Agustus, hingga September. Padahal, menurut perkapolri No. 21 tahun 2011 tentang informasi penyidikan Jo pasal 12 huruf c perkapolri No. 16 Tahun 2010 Tentang Tatacara Pelayanan informasi publik di lingkungan kepolisian negara republik Indonesia dan pasal 10 ayat (5) perkapolri no. 6 tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana, menyatakan setiap perkembangan penanganan perkara pada kegiatan penyidikan tindak pidana sebagaimana di maksud pada ayat (1) harus diterbitkan SP2HP yang diberikan kepada pelapor atau keluarganya secara berkala paling sedikit 1 kali setiap bulan, yang berisi tindak lanjut yang sudah di kerjakan dan tindak lanjut yang akan di kerjakan

Diduga Ada Penyimpangan Prosedur Pelayanan Kepolisian, Kapolda Metro Jaya Dipanggil Ombudsman

Pelapor 2 kali mendapat SPHP yang hanya memasukan atau menerangkan Tindakan yang telah di lakukan akan tertapi tidak memasukan rencana tindakan yang akan di lakukan yaitu SP2HP ke 4 dan SP2HP ke 6 di duga Penyidik tersebut memberikan SP2HP dengan terpaksa karena mendapat tekanan dari atasannya

Baca Juga :  AKBP Andi Sinjaya Pantau Langsung Kinerja Personil Polsek Situbondo Kota

Pada saat Pelapor tidak menerima SP2HP, Pelapor sudah mencoba menghubungi Penyidik dan atasanya tetapi tidak ada tindak lanjut, sehingga memaksa Pelapor untuk bersurat langsung ke Direktur Kriminal Khusus maupun langsung bersurat ke Kapolda metro jaya, berselang beberapa hari penyidik pun langsung mengantar SP2HP tersebut ke rumah, tetapi di dalam SP2HP tersebut tidak ada rencana yang akan di lakukan oleh penyidik,

Selain itu, penyidik tersebut dan penyidik lainnya beberapa kali yaitu pada tanggal 9 Maret, 31 Maret, 2 Juli 2021 mengancam akan melakukan SP3 perkara di maksud, karena merasa keberatan Pelapor telah mengirimkan surat Permohonan Sp2hp ke Direktur kriminal khusus maupun ke Kapolda Metro Jaya.

Selain itu penyidik beberapa kali yaitu pada tanggal 31 Maret Pelapor di minta datang ke Polda metro jaya belakang cafe Kopitiam dan pada tanggal 25 Juli dan 27 Juli 2021 Pelapor di minta datang kembali oleh penyidik kedalam ruangan tertutup di salah satu ruangan Ditreskrimsus, yang di penuhi penyidik, pelapor berada di tengah-tengah penyidik seperti layak nya sedang di sidang, Pelapor di tawari uang yg besar dari Terlapor melalui Penyidik, penyidik layaknya seorang sales yang agak memaksa agar pelapor menerimanya untuk mencabut laporan tersebut, tetapi Pelapor tetap menolakmya

Anehnya lagi, Terlapor Utama belum dilakukan pemeriksaan dan belum dimintai keterangan atau klarifikasi sebagai saksi, Penyidik malah memanggil Ahli Perburuhan yang katanya dari Universitas Indonesia pada bulan Juli 2021.

“Langkah penyidik tersebut dengan langsung memanggil Ahli Perburuhan tersebut tidak tepat, karena perkara tersebut masih di tingkat penyelidikan sebagaimana surat edaran no. 7/VII/2018 Tentang Penghentian Penyidikan, Pasal 3 huruf a point 6 bahwa pendapat Ahli tersebut hanya pada saat di perlukan, sebagai bukti tambahan, jika tidak memenuhi 2 alat bukti,” kata Pelapor

Pelapor sendiri berkeyakinan bahwa laporan dalam perkara yang dimaksud sudah menyampaikan 2 alat bukti yang sah dan patut

Selain itu diduga oknum Ahli Perburuhan dari Universitas Indonesia tersebut adalah Fiktif, karena menyimpulkan tanpa bukti-bukti, fakta-fakta maupun dasar hukum manapun, sehingga memposisikan layak nya peramal atau tuhan atau di duga telah di giring oleh Penyidik atau atas permintaan Terlapor.

pleh karena itu Pelapor meminta di fasilitasi bertemu dengan Oknum Ahli Perburuhan dari Universitas Indonesia tersebut, ataupun Instansi-instansi yang terkait dapat melakukan klarifikasi kepada Oknum Ahli Perburuhan dari Universitas Indonesia tersebut.

Selain itu penyidik tersebut pun, penyidik yang sama, pernah menolak rekan pelapor, tidak memberikan pelayanan kepada warga masyarakat yang meminta rekomendasi untuk melaporkan pengusaha yang melanggar Pasal 93 ayat 2 huruf f jo pasal 186 UU 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. (MARS)

error: