Strategi Pelestarian Unggah-Ungguh dalam Etika Jawa

Strategi Pelestarian Unggah-Ungguh dalam Etika Jawa

SEMARANG, Unggah-ungguh dalam ilmu bahasa Jawa merupakan kata dwilingga salin swara dari kata/tembung ‘ungguh’ yang diulang dua kali. Arti kata ungguh adalah bagaimana bersikap terhadap orang lain yang kita ajak berinteraksi,  yang didasarkan pada strata/tingkatan/kasta/level-nya.

Unggah-ungguh bisa juga berarti (semantik):

Unggah (Indonesia: naik) bermakna menaikkan derajat seseorang (yang diajak berinteraksi) sesuai dengan status (sosial) martabatnya.

Ungguh, asal kata Lungguh (Indonesia: duduk) berarti mendudukkan/menempatkan diri kita dan orang lain yang diajak berinteraksi sesuai porsi, derajat dan martabatnya.

Jadi unggah-ungguh adalah menghargai atau mendudukkan orang lain sesuai dengan ‘Lungguhe‘ (kedudukannya) dan siapa yang seharusnya di-‘Unggahke‘ (dinaikkan), hal itu untuk menjaga orang yang kita ajak berinteraksi agar juga kembali ikut mengunggah (menaikkan) dan me-lungguhke (menempatkan) diri kita.

Unggah-ungguh secara luas adalah sistem yang digunakan dalam kita  berinteraksi, berupa bahasa dan tingkah laku, sesuai dengan aturan adat Jawa yang telah menjadi filosofi orang Timur, unggah-ungguh tidak hanya sebatas cara berbahasa, tetapi juga tingkah laku (aktifitas-pola tindak) sehari-hari.

Sebenarnya unggah-ungguh merupakan cara dalam menjalani kehidupan di dalam lingkungan masyarakat yang heterogen dan lebih merupakan implementasi dari pemikiran-pemikiran atas pertanyaan “apakah hal tersebut pantas saya lakukan atau pantaskah orang lain menerima sikap atau perlakuan tersebut”.

Jika kita mendahulukan orang yang lebih tua, dalam melakukan hal tertentu, maka kita juga akan mendapatkan perlakuan hormat dari orang tua, sebagai misal: Jika kita menawarkan agar orang tua makan terlebih dahulu, belum tentu orang tua mau makan terlebih dahulu, dengan alasan biar anaknya (yang muda) dahulu. Dari hal ini akan timbul sikap saling menghargai antara yang muda dan yang tua.

Di dalam bahasa Jawa semua ucapan sudah menerapkan ‘unggah-ungguh‘ sebagai filosofi. Karena dalam bahasa Jawa terkandung aturan yang jelas dengan siapa dia berbicara, apa yang dibicarakan, dan bagaimana penerapan bahasanya. Sebagai contoh Makan bahasa Jawanya: Mangan-Maem-Dhahar.  Dalam mengucapkan kata ini harus memperhatikan: jika dengan orang yang lebih tua atau derajatnya lebih tinggi kata yang digunakan adalah ‘Dhahar‘. Jika sebaya kata yang digunakan sudah lain, begitu juga jika dengan yang lebih muda atau tingkatan (struktur di masyarakat) lebih rendah. Sebagai contoh: ‘Nyuwun sewu, dipun aturi Dhahar‘ disampaikan kepada yang lebih tua. Namun jika dengan yang lebih muda bisa digunakan: ‘Amit dik, ayo dimaem‘.

Secara umum aturan berbahasa ini disebut ngoko dan kromo (kromo madyo dan kromo inggil). Ngoko jika berbahasa dengan lebih muda, kromo madyo untuk sebaya, kromo inggil untuk yang lebih tua.

Harap diperhatikan bahwa istilah lebih muda, sebaya dan lebih tua tidak hanya berarti umur, tetapi berarti  juga pada strata sosial orang yang kita ajak berinteraksi. Kata “Nyuwun Sewu” terkandung makna mendudukkan orang yang diajak berinteraksi, merupakan sikap minta permisi (excuse) agar tidak mengandung unsur paksaan atau tekanan. Juga mengandung makna menghormati, agar tidak terjadi salah paham.

Unggah-ungguh seharusnya dipakai dalam setiap sisi kehidupan, bahkan sebagai unsur filosofi dalam menjalani kehidupan bersama dan bermasyarakat. Juga sebagai wahana bagaimana melatih hati (sikap dan tindakan) agar bisa menerima dan menghormati orang lain dalam peri kehidupan yang heterogen ini. Sebagai implementasi dari penerapan unggah-ungguh adalah terciptanya sikap yang tidak egois, bisa menerima ‘kehadiran’ orang lain dalam kehidupannya.

Unggah-ungguh jangan malah dijadikan sebagai halangan karena dianggap tidak praktis, tidak lagi njamani – tidak up to date. Justru jika kita ingin dihargai seharusnya kita juga harus menghargai dan mendudukkan orang lain sesuai dengan lungguh-nya (mendudukkan, menempatkan sesuai kedudukannya) dan siapa-siapa yang seharusnya di-unggahke (menaikkan-dinaikan). Hal itu untuk menjaga orang yang kita ajak berinteraksi agar ikut meng-unggahke dan me-lungguhke diri kita pada porsi yang sesuai.

Yang lebih penting dalam unggah-ungguh, kita tidak boleh meninggikan (harkat, martabat dan status sosial) diri kita pribadi. Di sinilah letak peran penting unggah-ungguh sebagai media latihan kita untuk dapat menahan diri, mengasah moral agar bersikap santun dan tidak sembrono dalam setiap sisi kehidupan kita.

Baca Juga :  Polisi Bagikan Masker kepada Pengunjung Wisata Bahari Pasir Putih Situbondo

Namun dewasa ini unggah-ungguh sering terlupakan. Unggah-ungguh telah terkikis karena jarang atau tidak diajarkan dan diterapkan dalam suatu sistem yang baik. Baik dalam sistem pendidikan formal (sekolah) maupun dalam sistem pendidikan keluarga.

Padahal unggah-ungguh bukan hanya bagaimana cara berbahasa. Namun bahasa adalah pintu pertama. Dimulai dari berbahasa (yang baik dan benar), akan timbul bagaimana berperilaku atau bertindak sesuai pranatan unggah-ungguh.

Sikap halus lainnya yang diwujudkan oleh orang Jawa adalah kehalusan dalam pergaulan. Selain kemampuan dalam bertutur sapa dan pemakaian bahasa yang tepat, orang Jawa juga harus bersifat hormat atau andap-asor (rendah hati) yang berperan sangat penting dalam pergaulan masyarakat Jawa. Pola andap-asor terdiri dari segala macam perbuatan seperti berkhidmat, karena orang Jawa mengartikan metafora dengan sungguh-sungguh, mengasosiasikan ketinggian dengan kedudukan yang tinggi. Seperti para nelayan tua yang datang mengunjungi nyonya besarnya, seorang istri priyayi tinggi.

Nelayan tua itu menyajikan makanan di tengah-tengah keluarga dengan berlutut. hal itu suatu penghormatan yang benar dari orang yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi ini adalah dengan berlutut, dan menunjukkan isyarat dengan menunduk (dua telapak tangan bersama dengan ibu jari di depan hidung dan ”anggukan horisontal” kepala) ke arah lutut orang yang lebih tinggi atau malahan ke arah kakinya. Demikian juga adat tuan rumah untuk tidak duduk pada meja tamu kalau seorang tamu penting berkunjung, tetapi duduk di kursi yang rendah ke arah samping belakang tamu. Mempersilahkan yang lain untuk lebih dulu duduk di tempat yang paling baik dan memperkecil arti kemampuan, kekayaan dan keberhasilan sendiri, adalah bagian dari pola yang sama. Orang Jawa akan merasa malu apabila tidak mampu melakukan sikap yang utama tersebut.

Maka bagi orang Jawa pengembangan sikap moral yang benar adalah masalah pengertian yang tepat. Orang Jawa akan selalu tahu diri dan tidak egois mencari kepuasan sendiri dan menuruti hawa nafsunya. Seandainya hal ini terjadi pada orang Jawa, tidak berarti ia melanggar moral, akan tetapi dianggap bersikap kasar, semacam ini patut disayangkan. Karena masyarakat Jawa menganggap orang yang demikian disebut durung Jawa (belum menjawa), durung ngerti (belum mengerti) atau durung dadi wong (belum jadi orang).

Demikian juga sebaliknya, apabila orang Jawa yang sudah belajar dan berlatih, sehingga tidak kaku dalam bergaul dan bertutur kata serta mampu menempati tempat yang tepat, maka orang tersebut dapat disebut orang Jawa yang tulen.

Melihat kenyataan ini, ilmu yang sangat bermanfaat untuk melatih sisi sikap dan perilaku atau moral telah ditinggalkan. Sebuah mutiara yang hilang. Unggah-ungguh adalah ilmu tentang adab, yang akan mendidik kita bagaimana cara ber-adab.

Sebagai generasi penerus bangsa Indonesia, sudah sepatutnya bagi kita untuk melestarikan salah satu budaya kita yang satu ini. Selain karena manfaatnya bagi masyarakat Indonesia juga sebagai pembeda antara bangs kita dengan bangsa lainnya di dunia.

Salah satunya kita harus mulai dari Pendidikan di usia dini karena apabila telah dipupuk sejak dini akan lebih mudah untuk menerapkannya di kemudian kelak. Lain halnya apabila kita menanamkan kepada golongan yang lebih dewasa, akan lebih sulit. Jadi, alahkah  lebih bijaksana apabila kita mulai menanamkan Pendidikan mengenai etika unggah ungguh ini dari tingkat dasar.

Kemudian perlunya bantuan dari sekolah-sekolah untuk membantu dalam pelestarian unggah-ungguh ini, sehingga tidak hanya teori saja yang diajarkan, namun lebih langsung kepada praktek dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari sekolah.

Peran orang tua dan keluarga juga sangat penting karena merekalah yang setiap harinya berinteraksi dengan anak-anak. Oleh karena itu perlunya bantuan dari keluarga khususnya orang tua akan sangat meringankan upaya pelestarian ini.

Terakhir adalah pentingnya kesadaran sebagai bangsa Indonesia untuk melestarikan budaya-budaya Indonesia sehingga tidak ada satu pun budaya kita yang punah ditelan waktu atau pun tergerus pergerakan zaman.

Penulis : Sony Apriandi & Tim 9

error: