Opini  

Pengaruh Budaya Jawa Dalam Pendidikan Berkarakter

Pengaruh Budaya Jawa Dalam Pendidikan Berkarakter

SEMARANG, Fenomena yang terjadi sekarang ini secara eksplisit menunjukan terjadinya penurunan etika, moral, dan karakter anak bangsa. Melalui media yang makin canggih sekarang ini, pengaruh globalisasi seakan tak ada batasnya. Kemajuan teknologi yang pesat juga mempengaruhi aktivitas anak-anak. Banyak anak yang mulai melupakan permainan tradisional dan beralih ke mainan digital seperti video games, Playstation (PS), dan games online. Permainan digital mempunyai kesan modern dan canggih membuat anak-anak merasa hebat ketika memainkannya, jika dibandingkan dengan permainan tradisional yang menggunakan peralatan sederhana seperti batu, ranting pohon, kayu, atau daun-daunan kering.

Tak hanya pada aktivitas anak yang berubah, penurunan moral pada anak juga terjadi sekarang ini. Bnayak anak yang berkata kotor dan berperilaku yang kurag sopan kepada temannya maupun orang yang lebih tua. Namun, penurunan (dekadensi) moral tak hanya terjadi pada anak. Bangsa Indonesia sekarang ini dalam kondisi krisis moral. Banyak bukti yang menjelaskan terjadinya penurunan moral yang ada di masyarakat. Bangsa Indonesia pada masa lalu dikenal sebagai bangsa yang santun, saat ini predikat tersebut semakin lama semakin memudar. Pada hampir setiap struktur masyarakat, bangsa ini menjadi bangsa pemaki.

Fenomena ini begitu jelas dengan adanya media elektronik sebagai media perantara. Banyak tayangan yang menayangkan adegan yang tidak patut ditiru seperti memaki, berkelahi, atau perbuatan yang tidak menyenangkan lainnya. Banyak juga spanduk-spanduk yang dipakai demonstan atau dinding-dinding  coretan berupa makian dan hujatan.

Ketika kita dihadapkan masalah tersebut, kita mungkin setuju bahwa keadaan tersebut disebabkan karena kurang mengenanya pendidikan berkarakter. Proses pendidikan dan pembentukannya dapat dilakukan pada tiga institusi pendidikan sebagai tripusat pendidikan, yaitu sekolah, masyarakat, dan keluarga.

Dalam tulisan Mussen, dkk (1984), dinyatakan bahwa pembentukan identitas salah satunya dipengaruhi hubungan orang tua anak. Hal ini mengisyaratkan bahwa interaksi orang  tua-anak yang diwujudkan dalam pola-pola pengasuhan akan mempengaruhi kemampuan anak untuk menyelesaikan konflik yang dialami pada tahap perkembangan psikososial tertentu.

Hal tersebut juga diungkap oleh Landry, dkk. (2001) yang menyatakan bahwa peran penting dalam perkembangan anak dipengaruhi oleh pengalaman pengasuhan anak, yang kemudian akan mempengaruhi kehidupan anak kelak. Kuatnya pengaruh keluarga terhadap pembentukan identitas diungkap oleh Grotevant dan Cooper (Papini, 1994), bahwa peran penting dan kualitas keluarga yang ikut mewarnai pembentukan identitas antara lain terletak pada interaksi orang tua dengan anak yang terangkum dalam gaya pengasuhan orang tua.

Dengan begitu, salah satu institusi penting dalam pembentukan karakter adalah keluarga. Masalahnya adalah, model pengasuhan yang bagaimana yang dapat membentuk karakter anak sebagaimana diharapkan oleh institusi negara, masyarakat dan bangsa? Bagaimana budaya mempengaruhi proses pembentukan karakter individu?

Suryabrata (2000) mengungkapkan bahwa corak hidup seseorang ditentukan oleh nilai kebudayaan mana yang dominan, yaitu nilai kebudayaan mana yang olehnya dipandang sebagai nilai yang tertinggi (nilai yang paling bernilai). Maka bagi masyarakat Jawa, budaya Jawa adalah nilai tertingga yang harus mereka hormati.

Wujud keberhasilan pada orang tua Jawa dalam membentuk karakter anak ditandai oleh kemampuan anak dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya.

Baca Juga :  Rasionalisasi Birokratis sebagai Aspirasi Menuju Indonesia Emas

Pada peneltian yang dilakukan oleh Wijayanti (2010) mengungkapkan bahwa kekuatan karakter dan keutamaan yang menonjol pada suku Jawa dapat dikatakan bahwa suku Jawa ialah suku yang senang berkumpul dan hidup bermasyarakat dengan didasarkan pada sikap adil, gotong royong, dan saling berbagi. Selain itu dalam kehidupannya, suku Jawa banyak bersyukur atas apa yang telah diberi oleh Tuhan Yang Maha Esa dan percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah menjadi takdir dariNya.

Di sisi lain, Seligman (2002) mengemukakan bahwa budaya mem-pengaruhi kekuatan karakter seseorang. Sebagai penyokong kekuatan karakter, budaya menyediakan institusi, ritual, panutan, peribahasa, pepatah, dan cerita anak-anak. Hal ini membuat individu sejak anak-anak dan remaja menjadi terbimbing untuk mengembangkan karak-ter yang sesuai dengan budayanya. Panutan dan teladan dalam suatu budaya memberikan gambaran tentang kekuatan atau keutamaan tertentu. Panutan yang dimaksud bisa jadi tokoh nyata (misalnya Panglima Sudirman yang melambangkan kepahlawanan) dan kisah legendaris (misalnya Ki Hajar Dewantara dengan kecintaannya terhadap pendidikan).

Suku Jawa terkenal dengan kegemarannya yang suka hidup bergotong-royong. Hal ini terlihat dari beberapa semboyan, seperti: “saiyeg saekopraya gotong royong” dan “hapanjang-hapunjung hapasir-wukir loh-jinawi, tata tentrem kertaraharja”. Semboyan-semboyan itu mengajarkan hidup tolong-menolong se-sama masyarakat atau keluarga. Masya-rakat Jawa merasa dirinya bukanlah persekutuan individu-individu, melainkan suatu kesatuan bentuk “satu untuk semua dan semua untuk satu” (Herusatoto, 2008). Dari gambaran itu, tak heran pula ada sebuah peribahasa “mangan ora mangan nek kumpul” yang mencerminkan budaya selalu ingin kumpul dengan lingkungan sosialnya (Melalatoa, 1995).

Idrus (2004) mengungkap bahwa biasanya anak Jawa yang berhasil dalam berinteraksi dengan lingkungannya, masyarakat akan memberi label sebagai orang yang njawani, sebaliknya mereka yang belum secara baik mengamalkan nilai-nilai yang ada di masyarakat tersebut, kerap disebut sebagai orang yang durung Jawa.

Secara tidak langsung, anak-anak Jawa telah diajarkan bagaimana mereka bersikap rukun sejak kecil. Dalam keluarga, mereka harus biasa berbagi, jika ada makanan ataupun kenikmatan, mereka akan saling berbagi ”sithik iding” (sedikit sama rata). Sikap ini akan menumbuhkan rasa toleransi, empati, dan simpati pada sesama, serta tidak bersikap serakah atas kenikmatan yang diperoleh. Jika sikap ini terus dipupuk, maka tidak ada individu yang akan melakukan korupsi karena mereka memahami bahwa mereka harus saling berbagi dengan sesama, tidak menikmati sendiri dengan cara yang tidak benar.

Selain itu, prinsip masyarakat Jawa yang paling terkenal adalah sikap ikhlas (nrimo). Maksud dari prinsip ini yaitu masyarakat Jawa selalu berserah diri dan cukup menerima apapun keadaannya, tidak menuntut yang lebih-lebih. Apapun yang sudah didapakan akan diterimanya dengan senang hati. Nrimo juga berarti tidak iri hati dengan orang lain dan tidak menginginkan sesuatu dari orang lain. Prinsip hidup ini disinyalir menjadi penyebab kebahagiaan orang Jawa yang relatif tinggi pada sebuah penelitian yang melibatkan sampel penduduk kota Semarang dan beberapa kota lainnya di Indonesia (Murwani, 2007).

Penulis : Sony Apriandi & Tim 9

error: